Friday, July 3, 2015

SETTING DASAR MIKROTIK



      Mikrotik RouterOS adalah sistem operasi yang dapat di gunakan sebagi router.

 

Langsung aja kita coba setting dasar mikrotik.



Yang Kita Butuhkan :

1.Sebuah Router mikrotik (Dalam Kasus ini saya menggunakan RB751U-2HnD)
2.Komputer/Laptop
3.Kabel LAN yang sudah di Krimping Straight
4.Software Winbox
5.Jaringan lokal/internet


Kasus

Menjadikan mikrotik sebagai Router bridging agar bisa berkomunikasi dengan satu jaringan/Internet.


1.Download Winbox.
2.Colok kabel LAN antara mikrotik dengan PC/Laptop.
3.Buka winbox yang tadi sudah di download dengan mengklik 2x.
4.Pilih interface yang ter scan di winbox dan masukan
  winbox

   User : admin
   Pass: ( kosongkan saja )
   Enter,dan anda masuk kedalam tampilan Router Mikrotik.
5.Reset Router tersebut dengan membuka terminal dan ketik
  

  /system reset-configuration no-default=yes keep-users=yes
   enter

Dangerous! Reset anyway? [y/N]:


   ketik  y
   dan tunggu router akan restart.

 
reset-mk

     Setelah router restart,buka winbox dan scan interface kembali.
6.Pilih Mac Address dan login kembali dengan user dan password yang sama seperti sebelumnya.
   Sekarang router sudah bersih dari settingan deffault.

  winbox
7.Sekarang kita melihat tampilan GUI di router tersebut,dan pilih tab bridge.
8.Klik tanda Plus (+) dan ganti nama bridge menjadi bridge1

  bridge1
9.pindah ke tab Port dan tambahkan (+) Interface
   ether2 Ok
   ether3 Ok
   ether4 Ok
   ether5 Ok
   WLAN 1 enter

port-select
10.Pindah ke tab IP dan pilih addresses.

  IP-session
11.Tambahkan (+) ip lokal untuk jaringan kita dengan di isikan 192.168.1.1/24  ganti interface ke bridge dan Ok.

  IP-session-lokal
12.Tambahkan (+) ip dari ISP anda misal 203.84.xxx.xxx/26 ganti interface ke ether1 dan Ok.(Ether1 bisa di ganti namanya dengan PUBLIK)

  IP-session-publik
13.Kembali ke tab IP dan pilih tab DNS,dan masukan DNS dari ISP anda,misal 8.8.8.8 dan 4.4.4.4 lalu centang allow remote requests.

  IP-session-DNS1

IP-session-DNS2
14.Kembali ke tab IP dan pilih DHCP-server,klik DHCP setup

 DHCP1
15.Pilih DHCP interface ke bridge1 dan next sampai selesai.

 DHCP2
16.Kembali ke tab IP dan pilih firewall,klik nat.
     Tambahkan (+) dan pilih chain srcnat,out-interface ganti dengan ether1,dan klik tab action pilih masquerade dan Ok.

  IP-firewall1

IP-firewall2

 Firelwall3

17.Kembali ke tab IP dan pilih routes

 IP-routes1


18.Tambahkan (+) dan isi gateway (Harus dari ISP anda) dan O8k.

 IP-routes2
Selesai.

Untuk mencoba settingan anda tadi,cabut kabel lan dari pc/laptop anda dan colokkan kembali.Setting IP DHCP di laptop/PC.Coba ping dari laptop/PC anda dengan CMD ke ip router dengan perintah : ping 192.168.1.1
Bila ada reply maka router dan PC/Laptop anda sudah ada dalam satu jaringan.
Cobalah browing,jika semua langkah sudah berjalan dengan baik,maka di pastikan anda sudah terhubung dengan internet.

Sekian untuk SETTING DASAR MIKROTIK saat ini.Untuk interface wlan1 yaitu untuk wifi,kita akan bahas di bahasan selanjutnya.

 

 


Kojek.

Sunday, July 31, 2011

Tanjung Barat Dalam Sejarah Tatar Sunda

Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan. [Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan, akan tetapi sumber portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield" (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522]

Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal).

Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan TRENGGANA (Sultan Demak III). Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan FADILLAH KHAN yang menjadi Senapati Demak. [Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya BARKAT ZAINAL ABIDIN adalah adik NURUL AMIN (kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah). Selain itu Fadillah masih terhitung cucu SUNAN AMPEL (ALI RAKHMATULLAH) sebab buyutnya adalah kakak IBRAHIN ZAINAL AKBAR ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).

Barros menyebut Fadillah dengan FALETEHAN. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya TAGARIL untuk KI FADIL (julukan Fadillah Khan sehari-hari).

Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga WONG AGUNG PASE) terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan ARYA BURAH]

Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan MERIAM yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.

Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersipakan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.

Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula HAJI ABDULLAH IMAN). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.

[Cirebon sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari]

Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan PASUKAN MERIAM Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.

SUMEDANG masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya PANGERAN SANTRI menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. [Pangeran Santri adalah cucu PANGERAN PANJUNAN, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah SYEKH DATUK KAHFI pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan SATYASIH, Pucuk Umum Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon]

Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. [Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran PASAREAN (Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten)]

Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.

Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat SAKAKALA (tanda peringatan buat ayahnya). Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. ITULAH PRASASTI BATUTULIS yang diletakkannya di KABUYUTAN tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa LINGGA BATU ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, BATUTULIS itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri LINGGA BATU. Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi ASTATALA ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi PADATALA ukiran jejak kaki. [Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara SRADA yaitu "penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi].

[Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan GURU GANTANGAN atau MUNDING LAYA DIKUSUMA. Permaisurinya, KINAWATI, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah PASAR MINGGU sekarang. Kinawati adalah puteri MENTAL BUANA, cicit MUNDING KAWATI yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.

Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu KAUNG PANDAK). Di Muara Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut JALAN BANTEN LAMA ("oude Bantamsche weg")].

Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai SAKAKALA untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di PADAREN. Diantara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babadd maupun pantun. [Babad Pajajaran atau Babad Pakuan sebenarnya mengisahkan "petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan gaya cerita Panji].

Wednesday, July 27, 2011

Layar Tancep


Siapa yang gak kenal sama hiburan yang satu ini?Mulai dari kalangan atas sampe yg paling bawah pun pasti pernah nonton hiburan ini.
Layar tancep sering di kenal juga dengan istilah MISBAR (Gerimis Bubar)adalah Film yang di putar sekitar 1 sampe3 hari dalam acara memeriahkan hajatan berupa sunatan atau pernikahan orang Betawi.
Dulu,layar tancep selain merupakan tempat hiburan,juga menjadi ajang pertemuan bagi muda-mudi betawi.
Atau mungkin mengenalkan anda dengan Lorek dan Intisari.

Sebenarnya tidak ada sejarah pasti kapan ato dimana awal Layar Tancep di mulai,tapi menurut berbagai sumber Layar Tancep berkembang di daerah betawi pada saat penjajahan belanda.

List Film Yang Biasa Di Putar

Warkop DKI
Si Pitung
Rhoma Irama
Film India/China
Film Perang
Dan yang paling di tunggu biasanya adalah Filmnya Ayu Azhari DKK.(hehehe........)


Peralatan
1.Proyektor.
Kalo lagi ganti Roll,layar gk ada gambar...trus pada tereak deh...WUUUUUUUUU......
2.Layar dan Bambu penegaknya.
Kalo angin kenceng,tuh Film bergelombang kaya aer.Apa lagi kalo dah ada yg mabok atow ngamuk,Di tebang dah tuh bambu,kalo nggak layarnya jadi ada dua kena golok.
3.Genset.
Ciri Khas layar tancep....Gemuruh euy.......
4.Tiker atow koran.
Buat yg nonton,kadeng saking enjoy ada yg ketiduran,dan bangun di pagi yang sepi sendirian di tengah lapangan.(Di tinggalin elo2 pada).
5.Autan
Hm...Dulu autan ada kan???kaya'a pernah make deh...
6.Duit.
Buat beli kacang rebus atow jagung.....wuih....ngupi dan roko pastinya...

Hm...layar tancep........Kemana dikau sekarang......

Ngumpal Outbond Jadul

   Perjalanan panjang dari hulu ke hilir disertai perburuan hewan buas.


   Berbekal Golok,salinan pakaian,rokok seadanya,dan uang se gitu2nya,berangkatlah kita ke titik pertama dalam misi yang sangat gak penting,yaitu Ngumpal,Biasanya trek dari depok sampe gg.Buni .hihihi......seru...

       Mengikuti aliran air kali Ciliwung sambil menikmati pemandangan yang lumayan asik dan terkadang sedikit Horor ,ternyata adalah pengalaman yang menarik.Duduk di atas ban dalam mobil atow di atas rakit yang terbuat dari kedebong pisang yang di susun  cukup menyenangkan (Biasanya pohon pisang dari kebon penduduk sekitar pinggiran kali Ciliwung,dan gk jarang di kejar2 yg punya kebon gara2 pohon pisang rawatannya di tebang buat bikin rakit.hehehehe...) apa lagi persiapan rokok sama duit dah ada di dalem plastik harta karun,makin  anteng kita duduk di atas kedebong pisang...Serasa di Boat .(kaya dah naik kapal Boat aja.....hehehe)

   Keadaan kedung yang sepi mencekam dan bikin inget sama cerita tentang setan Aer menjadi menyenangkan atow kadang makin mencekam karena ada  Kapten Tablo yang punya jalur dan kawan2 sependeritaan.Apa lagi kalo ada temen yang iseng....Ciaaaaaaaatt.........terbaliklah rakit kita di tengah kedung yg horor itu karena ulahnya,,,hahahahahaha...tapi biasanya kita malah jadi pada tertawa.

  Kita juga menyempatkan untuk beristirahat naik kedaratan,dan jangkar kapal di turunkan. Biasanya ,kita istirahat sejenak dan mungkin ada yang ingin belanja rokok,air atow roti,maklum seharian di air bikin tangan kadang mati rasa dan laper.Dan setelah itu perjalanan pun di lanjutkan dan jangkar di naikkan.Terkadang juga kita beristirahat di perkebunan yg tak terurus (hehehe) untuk berburu Burung liar atow pun burung yg gak liar (hehehe lagi) untuk bakar2 di tempat tujuan sebagai selebrasi keberhasilan team ekspedisi Ngumpal.
Dan memang para pengumpal juga biasanya di bekali tekhnik berburu yang cukup baik.(jiahahahaha).
Asli....Seru !!! anak  Tanjung Barat pasti  ngerasain yg namanya Ngumpal....

    Hmm.....tapi sekarang kaya'a dah jarang bgt anak muda yg Ngumpal,palingan cuma Real Hunter yg nyari Binyawak di kali Ciliwung yang katanya buat obat asma.

Sejarah Kali Ciliwung

 
JAKARTA mungkin satu-satunya kota di Indonesia yang mempunyai paling banyak sungai, yang membelah-belah wilayahnya dari selatan ke utara. Menurut perhitungan secara kasar, paling tidak ada 6-7 sungai. Di arah barat terbentang Kali Angke, Kali Krukut, Kali Grogol. Di tengah-tengah kota mengalir Kali Ciliwung. Di bagian timur kita menemukan Kali Gunungsahari dan Kali Sunter. Ada lagi Kali Besar yang menampung air Kali Krukut di ujung barat Jalan Pancoran (Medan Glodok) selewat jembatan Toko Tiga, Jakarta Kota dan membawanya terus mengalir ke arah barat, untuk akhirnya membelok ke utara.

Belum lagi anak sungai, terusan atau parit lebar yang menghubungkan aliran sungai yang satu dengan yang lain. Orang awam bisa pusing kalau mau menghitung atau menelusurinya satu demi satu.

Tempo doeloe jumlah itu lebih banyak lagi. Khususnya di bagian utara kota, yang oleh orang Belanda dinamakan beneden stad atau kota bawah, yakni daerah Mangga Besar ke arah utara. Kali Ciliwung yang mengalir lurus bagaikan garis mistar, membelok ke timur setibanya di seberang jalan Labu di Hayam Wuruk dan menumpahkan aimya ke Kali Tangki di sisi jalan tersebut.

Aliran Ciliwung itu pun masih terus lagi ke utara, menyusuri sisi timur Medan Glodok dan baru membelok ke timur setelah melewati gedung bioskop Pelangi, yang kemudian menjadi gedung pertokoan Harco. Sebagian lagi menumpahkan air ke Kali Besar yang pada masa itu. membentang dari timur ke barat, menyusuri jalan Pancoran (di seberang Glodok Building sekarang) sampai melewati jembatan Toko Tiga yang disebutkan di atas. Bagian Kali Besar yang menyusuri jalan Pancoran kini sudah tidak ada lagi, mungkin telah menjadi riol tertutup.

Mendiang ayah saya sering berceritera, bahwa semasa hidupnya sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, tepat di tengah-tengah jalan Kongsi Besar sepanjang jalur jalan yang kini menjadi lokasi kios-kios, pun dialiri sebuah sungai, Di masa remaja saya, kali di Kongsi Besar itu. sudah tidak ada. Hanya tinggal palang-palang pipa besi bergaris tengah kurang lebih 10 sentimeter, yang dulunya memagari kedua sisi sungai. Sungainya sendiri sudah menjadi lapangan tempat bermain anak-anak, terutama di sore hari.

Pada tahun 1944-1945 (zaman jepang) palang-palang itu dibongkar jepang bersama dengan palang palang serupa yang memagari seluruh tepi Kali Ciliwung. Konon semua palang itu diangkut ke jepang, karena industri perang jepang pada masa itu kekurangan bahan baku besi.

Kali Ciliwung diperjual belikan

Jumlah Kali-kali di Jakarta mencatat rekor di masa kekuasaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC atau Kompeni di mulut rakyat). Orang Belanda pada masa itu sangat gemar menggali Kali-kali buatan yang mereka namakan gracht (jamak: grachten). Konon karena mereka rindu akan kota Amsterdam di negara asal mereka yang sampai kini masih terbelah-belah oleh banyak grachten.

Sementara itu ada juga kali yang dibuat pihak swasta dengan seizin Kompeni, bukan atas dasar rasa rindu tadi, melainkan demi pertimbangan komersial-ekonomis. Kali-kali atau grachten itu menghubungkan aliran sungai-sungai alamiah yang satu dengan yang lain. Sungai-sungai itu. merupakan sarana utama bagi angkutan barang-barang dagangan. Banyak sampan pengangkut barang-barang itu ‘potong kompas’ agar lebih cepat tiba di tempat tujuan. Dalam hal demikian, mereka memasuki kali-kali buatan tadi dan oleh pemiliknya (pembuat kali-kali itu) sampan-sampan tersebut diharuskan membayar tol. Tidak berbeda dengan keadaan sekarang, kalau kendaraan bermotor melewati jalan tol.

Bagian Kali Ciliwung yang lurus dari Harmoni ke utara, dulunya kali swasta dengan aturan bayar tol kalau melaluinya. Kali yang oleh orang Belanda dinamakan Molenvliet itu dibuat oleh kepala warga Cina (kapitein der Chinezen) di Betawi, Phoa Bing Ham. Orang Belanda menamakannya Bingam. Pada tahun 1648 Bingam mendapat izin dari Kompeni untuk membuat Kali tersebut dan memungut tol dari sampan-sampan yang lewat di sana.

Pada tahun 1654 Molenvliet diambil alih Kompeni dengan harga 1.000 real. Bingam, melepaskannya karena eksploatasinya tidak lagi menguntungkan, sehubungan dengan penggalian terusan-terusan baru oleh Kompeni sendiri.

Sampai pecah Perang Dunia 11, sejumlah jalan tertentu di bagian utara kota dikenal sebagai Amsterdamschegracht (kini jalan Tongkol), Leeuwinnegracht (kini jalan Cengkeh), Groenegracht (kini Jalan Kali Besar Timur Ill) dan sebagamya. Hal itu menunjukkan bahwa pada zaman Kompeni, di sana terbentang Kali-kali buatan.

Pancoran: Pemasok Air Minum

Di samping berfungsi sebagai sarana penanggulangan banjir dan angkutan barang, sungai-sungai itu “tempo doeloe” juga menjadi sumber air minum utama bagi warga kota. Sampai abad ke-19 air Kali Ciliwung dipergunakan oleh orang-orang Belanda di Betawi sebagai air minum. Air kali itu mula-mula ditampung (dalam semacam waduk waterplaats atau aquada). Lokasi waduk itu semula dibangun dekat benteng Jacatra di bagian utara kota kemudian dipindahkan ke tepi Molenvliet sekitar daerah Medan Glodok yang sekarang.

Waduk air itu dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang mengucurkan air dari ketinggian kira-kira 10 kaki (kurang lebih 3 m). Kemudian daerah sekita lokasi waduk dinamakan Pancuran, yang di lidah orang Betawi menjadi Pancoran. Dari sana air diangkut dengan perahu ole para penjual air (waterboeren) dan dijajakan ke kota.

Tampaknya pengertian masyarakat tentang higina dan kesehatan pada masa itu masih sangat terbatas. Air Kali Ciliwung itu diminum begitu saja tanpa proses penjernihan seperti yang sekarang dijalankan oleh PAM.

Hal itu sempat menimbulkan problem kesehatan yang serius pada masyarakat Belanda. Pada abad ke- 18 dan dasa warsa pertama abad ke-19 itu, penyakit disentri, typhus, bahkan juga kolera, merajalela di antara mereka. Sebagai penyebabnya disebut air Kali Ciliwung tadi.

Buku Dr. de Haan mengetengahkan bahwa tentang hal terakhir itu sempat timbul perbedaan pendapat di kalangan para ‘ahli’ Belanda. Ada ‘ahli’ yang menyatakan pada tahun 1648 bahwa air Ciliwung sangat baik (voortreffelljk). Mungkin memang demikian halnya selagi daerah-daerah di pinggiran kota, di arah hulu kali, masih penuh hutan tanpa penghuni. Ketika kemudian pembukaan hutan-hutan dan penggarapan tanah semakin meluas, dan pemukiman makin meningkat, air Kali pun semakin tercemar. Pada tahun 1689 seorang ‘ahli’ lain mencatat bahwa air yang keluar dari pancuran waduk di Pancoran sangat keruh, balikan berlumpur di musim hujan !

Sekitar tahun 1685 seorang ‘ahli’ lain lagi tegas-tegas mengatakan bahwa di dalam air itu terdapat binatang-binatang halus’ yang tak tampak mata (onzichtbare beesjes). ‘Binatang-binatang halus’ yang tentu tak lain dari kuman-kuman itu akan mati kalau. air dimasak sebelum diminum, seperti yang biasa dilakukan orang-orang Hindoestanners (yang dimaksud tentu orang-orang India) dan orang-orang ‘pribumi’ lainnya.

Hal ini pada hakikatnya suatu petunjuk yang jelas bahwa kesehatan dapat terpelihara lebih baik jika orang minum air matang. Lebih-lebih karena pada tahun 1661 sudah ada laporan dari Banjarmasin bahwa orang-orang Belanda di sana menganut kebiasaan mengendapkan air minumnya satu hari dan kemudian memasaknya. Namun demikian orang-orang Belanda di Betawi masih belum yakin.

Teh dan Tempayan

Sementara itu seorang dokter bernama Thunberg menemukan kenyataan, bahwa orang-orang Cina di Betawi yang sehari-hari biasa minum teh, ternyata jarang atau tidak pernah dihinggapi penyakit-penyakit tersebut di atas. Thunberg berkesimpulan bahwa pencegahan penyakit itu bukan soal pemasakan air, tetapi khasiat daun teh!

Seorang ‘ahli’ terkemuka lebih hebat lagi pernyataannya. Air Ciliwung pada hakikatnya tidak seburuk yang dibayangkan orang, asal bisa melupakan sama sekali segala yang biasa dilemparkan ke dalam kali itu. Bayangkan, orang dianjurkan untuk menyingkirkan dari ingatan bahwa Ciliwung antara lain berfungsi sebagai jamban umum.

Anehnya, tidak pernah terlintas dalam pikiran orang-orang Belanda di Betawi untuk menggunakan sumur sebagai sumber air, minum. Padahal waktu itu sudah banyak rumah tinggal yang memiliki sumur. Air sumur pasti lebih jernih dan lebih bebas dari segala macam pencemaran daripada air kali, asalkan cara pembuatannya tepat dan seterusnya terpelihara dengan baik. Tetapi sumur yang sekaligus juga menampung air hujan, pada umumnya hanya dipergunakan untuk berbagai keperluan dapur saja.

Betapapun, akhirnya disadari juga bahwa kondisi air minum berperan penting dalam pemeliharaan kesehatan. Pada hakikatnya antara abad ke-17 dan ke-19 sudah ada usaha-usaha menjernihkan air kali untuk air minum. Caranya sederhana saja. Air itu diendapkan dalam beberapa tempayan (matravan). Mulamula air diendapkan dalam tempayan pertama, lalu dipindatikan ke dalam tempayan kedua, ketiga dan seterusnya. Ketika masuk ke dalam tempayan terakhir, air sudah jernih. Tetapi apakah sekaligus sudah bebas kuman, masih merupakan tanda tanya.

Pada tahun 1811, ketika pecah perang antara negeri Belanda dan Inggris, diperkirakan bahwa tentara Inggris akan segera mendarat di Betawi. Pemerintah kota Betawi mengeluarkan perintah agar warga kota menghancurkan semua tempayan mereka, kecuali yang sangat diperlukan saja. Maksudnya supaya tentara Inggris tidak memperoleh. air minum bila mendarat di Betawi. Dengan demikian mereka akan terpaksa minum air kali dengan akibat akan kena sakit perut. Sejarah membuktikan bahwa siasat itu tidak efektif.

Cara penjernihan lain ialah dengan menyaring air di dalam leksteen, yakni semacam kendi dari keramik berbentuk tabung dengan keran di bawahnya. Di dalamnya terdapat ‘kendi tabung’ lagi yang lebih kecil, dari sejenis batu karang yang tembus air (poreus). Air dimasukkan ke tabung-dalam itu. Di sana air itu mengendap dan merembes ke tabung-luar yang lebih besar. Kalau keran dibuka, air yang mengucur dari sana jernih lagi sejuk rasanya.

Penggunaan tempayan untuk mengendapkan air minum, sekaligus tempat menyimpan persediaan air pun sudah tidak asing lagi bagi rakyat sebelum orang Barat ke sini. Kendi air juga sudah umum dipergunakan rakyat kita di masa ‘tempo doeloe’ sekali. Bedanya kendi dan tempayan-tempayan kita terbuat dari tanah liat.

Dikirim air dari Bogor

Sementara itu ada juga orang-orang Belanda Betawi yang tampaknya enggan minum air kali dalam keadaan yang sudah dijernihkan sekali pun. Buku Dr. de Haan menyebutkan bahwa sebagian orang Belanda biasa minum Seltzelwater, yakni air impor yang di masa itu sangat banyak didatangkan dari luar negri ke Betawi dengan nama ayer Belanda. Harganya mahal sekali: satu ringgit (rijksdaalder atau dua ratus lima puluh sen) per guci (kruik) kecil. Sudah barang tentu hanya orang-orang kayaraya saja yang kuat membayarnya.

Orang-orang Belanda yang cukup kuat keuangannya mendatangkan air minum dari daerah Bogor (1773), yakni air sumber yang jernih. Konon gubernur jenderal Belanda pada masa itu juga menerima kiriman air sumber dari Lontho (Lontar, di belakang Bogor).

Sampai dengan dasa warsa ke-2 abad ke-20 ini, penggunaan air sumber untuk minum juga populer di kalangan rakyat Betawi. Semasa saya masili bocah yang suka berlarian di jalan dalam celana monyet, kampung tempat tinggal keluarga saya terkadang dikunjungi ‘gerobak tangki’ yang menjajakan air sumber dari Kampung Lima (entah di mana pula letak kampung itu).

Air itu dijual per kaleng minyak tanah. Ibu saya selalu membeli untuk menambah persediaan air minum kami (air hujan). Setiap kali turun hujan deras, almarhum ayah saya selalu menampung dan menyimpan sekaligus mengendapkan dalam sejumlah tempayan.

Tulisan Tanu Trh diambil buku BATAVIA “Kisah Jakarta Tempo Doeloe” terbitan Gramedia dalam Intisari, bulan Juni 1980.

Sumber Media Indonesia, Selasa, 3 September 1996.

Serba-serbi

Tanjung barat adalah sebuah kelurahan yang terletak di kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Kelurahan ini berbatasan dengan Pasar Minggu di sebelah utara, Kebagusan di sebelah barat, Kali Sari di sebelah timur dan Lenteng Agung di sebelah selatan.